RAHASIA SYARI’AT & HAKIKAT


 
Ahli Syari’at Berguru pada ahli Hakikat
Ada sebuah dialog yang diabadikan dalam al-Qur’an antara ahli Syariat dan ahli Hakikat. Ahli Syariat diperankan oleh nabi Musa yang diperintah Allah untuk berguru kepada nabi Khidhr, sosok hamba yang maqamnya mencapai hakikat. Inilah dialog itu… 
Musa berkata kepada Khidhr: ”Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Dia menjawab: ”Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata: ”Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”. Dia berkata: ”Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”.
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: ”Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: ”Bukankah aku telah berkata: ”Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”. Musa berkata: ”Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: ”Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”. Khidhr berkata: ”Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” Musa berkata: ”Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku”.
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: ”Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. (al-Kahfi : 18/66-77)
Dialog yang terjadi antara nabi musa dengan nabi khidhr mengajarkan pada kita bahwa alam Hakikat sulit bahkan mungkin tidak bisa dipraktekkan di alam Syariat. Nabi musa adalah seorang nabi yang cerdas dan patuh, tentunya tidak akan melupakan bahkan melanggar titah sang guru yang memerintahkan untuk tidak bertanya perihal apa yang akan ia lakukan. namun ketika sang guru melakukan hal-hal yang secara dzahiriyah bertentangan dengan syariat, nabi musa pun mempertanyakan bahkan terkesan menegurnya, itupun tidak hanya satu kali bahkan berulangkali.Ada pelajaran berharga untuk kita renungkan terkait dialog di atas bahwa ketika kita menemukan orang yang melakukan sesuatu yang menurut syariat salah, maka hendaknya kita menegurnya, walaupun orang tersebut mungkin ahli Hakikat bahkan secara hakikat disisi Allah ia benar. Namun kita juga punya undang-undang secara syar’i dan kita tidak bisa disalahkan selama kita berpatokan pada hukum syariat. Bahkan dalam ajaran syariat ketika seorang mujtahid (fuqaha’) berijtihad dan hasil ijtihadnya salah ia akan tetap mendapatkan pahala. Oleh karena itu, biarkan ahli hakikat menilai segala sesuatu dengan sudut pandang Hakikat, sedang ahli Syri’at dengan hukum syariatnya.
Ahli Hakikat Mengajari Ahli Syari’at
Apa jadinya andai ahli Hakikat mengajari ahli syariat tentang konsep hulul, Ittihad, Wihdatul Wujud atau apapun namanya yang mengajak untuk meleburkan diri dengan tuhan, menyatu dalam Dzatnya sehingga tidak ada “aku” yang ada hanyalah Tuhan, seperti halnya perkataan al-Hallaj “ Ana al-Haq” (Akulah sang kebenaran) atau Siti Jenar dengan konsep “Manunggaling kawula gusti”-nya yang menyebabkan mereka berdua harus dihukum mati (terlepas dari kontroversi sejarah siti jenar, apakah faktor politik atau hanya cerita fiktif?), mungkin akan banyak bermunculan penerus-penerus ajarannya seperti Kiai Lonthang , Ki Kebo Kenanga dan Ki Ageng Tingkir, bahkan mungkin banyak dari kalangan umat Islam yang akan musyrik dan kafir.
Apa jadinya andai kaum perempuan mengikuti ajaran Rabi’ah al-Adawiyah yang dengan konsep mahabbahnya ia melupakan banyak hal, lupa kawin, lupa untuk menjadi kholifah yang ikut melestarikan alam, dan lupa tentang dunia, yang terfikir dan terbayang hanyalah wujud tuhan. Bahkan neraka dan surgapun sudah tidak penting lagi baginya, yang ia butuhkan hanyalah pertemuan dengan Sang kekasih.
Bagi ahli Hakikat mungkin itu tidak masalah, karna mereka sudah melupakan eksistensi kemanusiaannya, seperti halnya dialog al-Halaj dengan iblis dimana ketika itu iblis datang menemuinya dan bertanya, ”Nasibmu sebetulnya sama dengan aku, engkau berkata, Ana al-Haq. Engkau berkata ‘aku’. Aku juga dulu berkata ‘aku’. Aku dan kau sama-sama meng’aku’kan diri masing-masing. Tetapi kenapa yang kau terima adalah anugerah dan ampunan Tuhan, sedangkan yang aku terima adalah laknat dan kutukan, sehingga aku dikutuk Tuhan selama-lamanya?” Al-Hallaj berkata, ”Engkau berkata ‘aku’ dan engkau melihat dirimu, sementara ketika aku berkata ‘aku’, aku tidak lagi melihat diriku.”Para penganut hakikat menganggap bahwa kematian dengan cara apapun baik dengan cara dihukum mati atau di salib bukanlah sesuatu yang menakutkan, Bahkan apipun akan terasa dingin jika kekasihnya ada didalamnya. Kematian dianggap pintu masuk menuju hakikat yang sebenarnya. Namun tidak sesederhana itu jika wilayah Hakikat ditarik pada wilayah Syariat lebih-lebih jika diajarkannya.
Menuju Kesempurnaan
Sebenarnya antara alam Hakikat dan alam Syariat ada keterkaitan satu sama lainnya, namun semuanya butuh tahapan-tahapan. Hakikat laksana kedalam samudera yang tidak bisa diselami hanya dengan menceburkan diri tanpa alat perenang atau perahu. Perahu itulah syariat yang akan mengantarkan kita menuju hamparan samudera, namun hanya dengan menggunakan perahupun tidaklah cukup, perahu tidak akan berfungsi jika diletakkan diatas daratan atau pegunungan, dibutuhkan air laut, dan dibutuhkan arah mata angin, itulah Tariqat. Maka untuk menuju insan kamil, manusia yang sempurna adalah dengan cara menyempurnakan Syariat kita lalu berproseslah dengan Tariqat yang benar maka akan kita temukan Hakikat yang sebenarnya.Penulis tidak bermaksud menyepelekan sosok-sosok manusia seperti al-Hallaj, , Rabiah, ibnu ‘Arabi, Rumi dan Siti jenar yang sejarahnya sudah melegenda dan menpunyai cara tersendiri dalam mengekspresikan konsep ketuhanannya, akan tetapi penulis hanya ingin mengajak pembaca untuk merenungi tentang ajaran sosok Insan al-Kamil, manusia paling sempurna yaitu baginda Rasullullah, seorang panutan yang juga kawin, pernah bergurau, bersedih, dan juga melakukan aktifitas seperti manusia pada umumnya. Sosok yang bisa menyeimbangkan hati dengan fikiran, sosok yang tidak melupakan perkara dunia Karna sebenarnya dunia juga bisa menjadi ladang pahala andai diniati ibadah, Itulah ajaran syariat.Kalau penulis istilahkan, ahli Hakikat itu seringkali hanya melihat isi dan tidak memperhatikan kulit, sedang ahli syariat seringkali hanya melihat kulit dan kurang memperhatikan isi. Sekarang bagaimana kita bisa menyelaraskan keduanya yaitu langkah pertama mulailah dengan melihat kulit karna biasanya kulit menunjukkan isi setelah itu nikmatilah isinya, Karna tanpa melihat kulit bisa saja isi itu adalah candu yang mematikan. Wallahu a’lam. (WM)
Artikel ini sebelumnya telah di muat di Tanbihun.com


0 Responses So Far: