CINTA DAN JENIS-JENISNYA ( KAJIAN ISLAM - KITAB ZADUL MA'AD IBNUL QOYYIM )




PEMBUKA

Virus hati yang bernama al isyq (cinta), ternyata telah memakan banyak korban. Mungkin anda pernah mendengar seorang remaja nekad bunuh diri disebabkan putus cinta, atau tertolak cintanya

ISLAM DAN DASAR NEGARA INDONESIA ( PANCASILA )


Berbicara dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ), tentu tidak lain adalah pancasila. Dimana Pancasila yang mengandung nilai-nilai universal dengan prinsip " BHINNEKA TUNGGAL IKA " nya, itu digali dari bumi pertiwidan disepakati dengan konsensus nasional untuk menjadi dasar NKRI dan menjadi payung kehidupan bersama dalam berbagai perbedaan. Disisi lain terjadinya ketegangan dan konflik di kawasan Republik Indonesia pada era setelah reformasi membuktikan bahwa kurang hati-hatinya negara kita dalam mengelola kemajemukan bangsa ini, jika ini dibiarkan dapat membahayakan keutuhan bangsa itu sendiri. Disisi lain kita juga pernah mendapatkan keterangan dari berbagai kelompok bahwa Pancasila sebagai dasar negara sudah tidak relevan lagi untuk mengatasi problematika bangsa ini, karena menurut kesimpulan mereka Pancasila tidak sesuai dengan ketentuan agama islam. Siapa bilang?,itu merupakan sebuah kesimpulan yang diambil secara terburu-buru, dan sebuah pemikiran yang sangat sempit juga dangkal. Karena pada dasarnya Pancasila sudah sesuai dengan yang ada didalam Kitab Suci Al-Qur'an (sesuai dengan tuntunan agama Islam ).
Maka, dalam kesempatan ini, santri Pndok Pesantren Ngalah yang diasuh oleh KH. Moh. Sholeh Bahruddin mengajak kepada semuanya untuk melihat secara jernih bahwa pancasila itu adalah payung kebersamaan. mari kita lihat bersama kesesuaian isi dari Pancasila dengan yang telah terkandung dalam ayat-ayat Kitab Suci Al-Qur'an :
  1. KETUHANA YANG MAHA ESA
    Pada sila ini mengandung ajaran ketauhidan, dalam pengertian keimana kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang tercermin dalam Kitab Suci Al-Qur'an Suroh Al-Nahl ayat 22, Al-Baqoroh ayat 163, Al-Ikhlas ayat 1 sebagai berikut :

    إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ قُلُوبُهُمْ مُنْكِرَةٌ وَهُمْ مُسْتَكْبِرُونَ
    Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.(QS. 16:22)

    وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
    Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.(QS. 2:163)

    قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
    Katakanlah: `Dialah Allah, Yang Maha Esa`.(QS. 112:1)
  2. KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
    Sila kedua ini mencerminkan nilai kemanusiaan yang menjunjung tinggi sikap adil dan beradab, hal ini juga dianjurkan dalam Al-Qur'an surah AnNahl ayat 90.


    إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُون

    Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS. 16:90)


  3. PERSATUAN INDONESIASila ketiga ini menggambarkan sebuah kehidupan yang rukun damai, saling berdampingan dalam bingkai keanekaragaman bangsanya dengan dilandasi persatuan serta kebersamaan, sebagaimana perintah Allah dalam surat Ali Imron ayat 103.

    وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
    Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.(QS. 3:103)

  4. KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN DAN PERWAKILAN.
    Sila yang memberi petunjuk dalam pelaksanaan kepemimpinanserta dalam mengambil sebuah keputusan itu harus secara bijak dengan tetap berdasarkan musyawarah. Hal ini digambarkan dalam Al-Qur'an surah Shaad ayat 20 dan Ali Imron ayat 159, sebagai berikut :


    وَشَدَدْنَا مُلْكَهُ وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ

    Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmahdan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.


  5. KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA

    Sila yang menggambarkan dan mencita-citakan terwujudnya kehidupan yang adil, makmur, bagi seluruh rakyatnya yang beraneka ragam. Hal ini juga diperintahkan dalam surah al-Maidah ayat 8 dan An-Nisa' ayat 135, sebagai berikut :

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
    Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. 5:8)


    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرً

    Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(QS. 4:135)


  • Sumber  : Kitab Jawabul Masail Pon. Pes. Ngalah
  • 81 Macam-Macam Thariqah Mu’tabarah Seluruh Dunia




    Oleh:
    Asy-Syaikh As-Sayyid KH.Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini
    (Mursyid Thariqah Wali Songo & Pimpinan Majelis Dakwah Wali Songo)

    Thariqah Mu’tabarah adalah Thariqah yang sesuai dengan

    RAHASIA SYARI’AT & HAKIKAT


     
    Ahli Syari’at Berguru pada ahli Hakikat
    Ada sebuah dialog yang diabadikan dalam al-Qur’an antara ahli Syariat dan ahli Hakikat. Ahli Syariat diperankan oleh nabi Musa yang diperintah Allah untuk berguru kepada nabi Khidhr, sosok hamba yang maqamnya mencapai hakikat. Inilah dialog itu… 
    Musa berkata kepada Khidhr: ”Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Dia menjawab: ”Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata: ”Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”. Dia berkata: ”Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”.
    Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: ”Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: ”Bukankah aku telah berkata: ”Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”. Musa berkata: ”Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: ”Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”. Khidhr berkata: ”Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” Musa berkata: ”Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku”.
    Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: ”Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. (al-Kahfi : 18/66-77)
    Dialog yang terjadi antara nabi musa dengan nabi khidhr mengajarkan pada kita bahwa alam Hakikat sulit bahkan mungkin tidak bisa dipraktekkan di alam Syariat. Nabi musa adalah seorang nabi yang cerdas dan patuh, tentunya tidak akan melupakan bahkan melanggar titah sang guru yang memerintahkan untuk tidak bertanya perihal apa yang akan ia lakukan. namun ketika sang guru melakukan hal-hal yang secara dzahiriyah bertentangan dengan syariat, nabi musa pun mempertanyakan bahkan terkesan menegurnya, itupun tidak hanya satu kali bahkan berulangkali.Ada pelajaran berharga untuk kita renungkan terkait dialog di atas bahwa ketika kita menemukan orang yang melakukan sesuatu yang menurut syariat salah, maka hendaknya kita menegurnya, walaupun orang tersebut mungkin ahli Hakikat bahkan secara hakikat disisi Allah ia benar. Namun kita juga punya undang-undang secara syar’i dan kita tidak bisa disalahkan selama kita berpatokan pada hukum syariat. Bahkan dalam ajaran syariat ketika seorang mujtahid (fuqaha’) berijtihad dan hasil ijtihadnya salah ia akan tetap mendapatkan pahala. Oleh karena itu, biarkan ahli hakikat menilai segala sesuatu dengan sudut pandang Hakikat, sedang ahli Syri’at dengan hukum syariatnya.
    Ahli Hakikat Mengajari Ahli Syari’at
    Apa jadinya andai ahli Hakikat mengajari ahli syariat tentang konsep hulul, Ittihad, Wihdatul Wujud atau apapun namanya yang mengajak untuk meleburkan diri dengan tuhan, menyatu dalam Dzatnya sehingga tidak ada “aku” yang ada hanyalah Tuhan, seperti halnya perkataan al-Hallaj “ Ana al-Haq” (Akulah sang kebenaran) atau Siti Jenar dengan konsep “Manunggaling kawula gusti”-nya yang menyebabkan mereka berdua harus dihukum mati (terlepas dari kontroversi sejarah siti jenar, apakah faktor politik atau hanya cerita fiktif?), mungkin akan banyak bermunculan penerus-penerus ajarannya seperti Kiai Lonthang , Ki Kebo Kenanga dan Ki Ageng Tingkir, bahkan mungkin banyak dari kalangan umat Islam yang akan musyrik dan kafir.
    Apa jadinya andai kaum perempuan mengikuti ajaran Rabi’ah al-Adawiyah yang dengan konsep mahabbahnya ia melupakan banyak hal, lupa kawin, lupa untuk menjadi kholifah yang ikut melestarikan alam, dan lupa tentang dunia, yang terfikir dan terbayang hanyalah wujud tuhan. Bahkan neraka dan surgapun sudah tidak penting lagi baginya, yang ia butuhkan hanyalah pertemuan dengan Sang kekasih.
    Bagi ahli Hakikat mungkin itu tidak masalah, karna mereka sudah melupakan eksistensi kemanusiaannya, seperti halnya dialog al-Halaj dengan iblis dimana ketika itu iblis datang menemuinya dan bertanya, ”Nasibmu sebetulnya sama dengan aku, engkau berkata, Ana al-Haq. Engkau berkata ‘aku’. Aku juga dulu berkata ‘aku’. Aku dan kau sama-sama meng’aku’kan diri masing-masing. Tetapi kenapa yang kau terima adalah anugerah dan ampunan Tuhan, sedangkan yang aku terima adalah laknat dan kutukan, sehingga aku dikutuk Tuhan selama-lamanya?” Al-Hallaj berkata, ”Engkau berkata ‘aku’ dan engkau melihat dirimu, sementara ketika aku berkata ‘aku’, aku tidak lagi melihat diriku.”Para penganut hakikat menganggap bahwa kematian dengan cara apapun baik dengan cara dihukum mati atau di salib bukanlah sesuatu yang menakutkan, Bahkan apipun akan terasa dingin jika kekasihnya ada didalamnya. Kematian dianggap pintu masuk menuju hakikat yang sebenarnya. Namun tidak sesederhana itu jika wilayah Hakikat ditarik pada wilayah Syariat lebih-lebih jika diajarkannya.
    Menuju Kesempurnaan
    Sebenarnya antara alam Hakikat dan alam Syariat ada keterkaitan satu sama lainnya, namun semuanya butuh tahapan-tahapan. Hakikat laksana kedalam samudera yang tidak bisa diselami hanya dengan menceburkan diri tanpa alat perenang atau perahu. Perahu itulah syariat yang akan mengantarkan kita menuju hamparan samudera, namun hanya dengan menggunakan perahupun tidaklah cukup, perahu tidak akan berfungsi jika diletakkan diatas daratan atau pegunungan, dibutuhkan air laut, dan dibutuhkan arah mata angin, itulah Tariqat. Maka untuk menuju insan kamil, manusia yang sempurna adalah dengan cara menyempurnakan Syariat kita lalu berproseslah dengan Tariqat yang benar maka akan kita temukan Hakikat yang sebenarnya.Penulis tidak bermaksud menyepelekan sosok-sosok manusia seperti al-Hallaj, , Rabiah, ibnu ‘Arabi, Rumi dan Siti jenar yang sejarahnya sudah melegenda dan menpunyai cara tersendiri dalam mengekspresikan konsep ketuhanannya, akan tetapi penulis hanya ingin mengajak pembaca untuk merenungi tentang ajaran sosok Insan al-Kamil, manusia paling sempurna yaitu baginda Rasullullah, seorang panutan yang juga kawin, pernah bergurau, bersedih, dan juga melakukan aktifitas seperti manusia pada umumnya. Sosok yang bisa menyeimbangkan hati dengan fikiran, sosok yang tidak melupakan perkara dunia Karna sebenarnya dunia juga bisa menjadi ladang pahala andai diniati ibadah, Itulah ajaran syariat.Kalau penulis istilahkan, ahli Hakikat itu seringkali hanya melihat isi dan tidak memperhatikan kulit, sedang ahli syariat seringkali hanya melihat kulit dan kurang memperhatikan isi. Sekarang bagaimana kita bisa menyelaraskan keduanya yaitu langkah pertama mulailah dengan melihat kulit karna biasanya kulit menunjukkan isi setelah itu nikmatilah isinya, Karna tanpa melihat kulit bisa saja isi itu adalah candu yang mematikan. Wallahu a’lam. (WM)
    Artikel ini sebelumnya telah di muat di Tanbihun.com

    Syari'at, Thariqat, Haqiqat







    Inilah gambaran dari jalan menuju akhirat, yakni melalui syari'at, thariqat dan haqiqat. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara bersama-sama menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.

    Haqiqat tanpa syari'at menjadi batal, dan syari'at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat dimisalkan di sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya mendirikan shalat, maka ia akan menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan shalat.

    Ini adalah contoh haqiqat tanpa syari'at.

    Sedangkan syari'at tanpa haqiqat, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga. Ini adalah syari'at yang kosong, walaupun ia yakin. Bagi orang ini ada atau tidak ada syari'at sama saja keadaannya, karena masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari'at adalah peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan. Thariqat adalah pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah (syari'at). Haqiqat adalah menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syari'at, sebagai tugas menjalankan firman Allah.

    Mendalami syari'at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam terutama yang